Gak seperti biasanya suasana di dalam kelas begitu sejuk dan
tenang gue rasakan. Dinginnya udara bercampur hangatnya sinar mentari yang menembus
kaca jendela kelas gue membuat gue semakin nyaman saat memandangi cewek yang
belum gue tahu namanya. Dia tepat duduk di bangku terdepan sejajar dengan bangku
yang gue duduki dan terhalang 3 meja antara tempat duduk gue dengan tempat
duduknya. Tepat pukul 7 pagi setelah 15 menit yang lalu bel masuk berbunyi. “Assalamualaikum,
selamat pagi anak-anak?” Suara itu mengacaukan pikiran gue yang tengah
memandanginya. Bu Dina memberi salam pada siswa dan menyapa kami sembari
memasuki kelas. Secepat mobil F1 dia berjalan dan lekas menduduki bangkunya
yang telah tersedia di sebelah kanan papan tulis. “Waalaikumsalam
warahmatullahi wabbarakatu. Pagi bu..!!!” Serentak para siswa pun menjawab
salam dari Bu Dina. Lalu kemudian Bu Dina berdiri dari duduknya dan perlahan
berjalan tepat menuju ke depan kelas dengan posisi menghadap kami. Bu Dina memperkenalkan
dirinya pada para siswa dan memberitahu
kami bahwa selain dia menjadi guru kami di bidang studi bahasa Indonesia ,
dia pun sekaligus menjadi wali kelas kami. Setelah merasa cukup baginya untuk
memperkenalkan diri, dia pun duduk kembali dan memerintahkan kepada para siswa
untuk memperkenalkan diri masing-masing di depan kelas. Dengan berbekal secarik
kertas Absen, Bu Dina memanggil nama para siswa satu-persatu dimulai dari
urutan yang pertama. Setelah beberapa siswa selesai memperkenalkan diri, Bu
Dina memanggil nama siswa selanjutnya. “Marissa.??” Panggil Bu Dina dengan
lantang hingga suaranya memenuhi seluruh sudut kelas. Para
siswa menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan penuh rasa penasaran
seakan-akan seperti harimau yang sedang memburu mangsanya hanya untuk sekedar mengetahui
siapa orang yang memiliki nama itu, begitu pun Gue. Saat gue arahkan wajah gue
lurus ke depan, gue lihat cewek yang membuat gue penasaran itu berdiri dan
menempatkan tubuhnya dengan posisi berdiri menghadap para siswa. “Tuh dia maju
Ma..” Arman menggoda gue dengan senyuman mengejek dan sedikit mendorong pelan
bahu kiri gue dengan siku tangan kanannya.
Gue gak menghiraukan apa yang dikatakan Arman. Gue hanya tertuju pada
perkataan cewek itu dan rasa ingin tahu gue yang sangat besar ini yang membuat
gue seperti itu. Soal Arman, gue cuma membalas candaannya dengan senyuman yang
sama persis dengan senyuman yang dimiliki Vino G. Bastian haha. Mata, pikiran,
dan mungkin hati ini hanya tertuju pada apa yang dia lakukan dan dia katakan.
“Perkenalkan nama saya Marissa…” Karena tempat duduk gue paling belakang dan
suara cewek itu pun gak terlalu keras, samar-samar di telinga gue mencoba
mendengarkan ucapannya. Namun yang jelas gue udah tahu siapa namanya. “MARISSA,
nama yang cocok untuk gadis secantik dia”. Dalam hati gue bergumam. Gue cuma
mencuri-curi kesempatan, keberuntungan sedang berpihak sama gue. Disaat gue
ingin mengenalnya, tapi gue gak memiliki keberanian lebih untuk bertanya
langsung pada Marissa. Akhirnya datang waktu dimana gue harus tahu siapa
namanya. Setelah Marissa duduk kembali ke tempatnya dan beberapa siswa telah
memperkenalkan diri, kini giliran gue untuk eksis, ya minimal di kelas dulu
sebelum satu SMP mengenal siapa itu Pratama. “Pratama??” Bu Dina memanggil gue.
Lekas gue berdiri dan menuju tempat yang beberapa saat tadi Marissa tepat
berdiri disana. Dengan suara lantang gue coba memperkenalkan diri ” Hai nama
saya Pratama, panggil saja saya Tama.” Beberapa hari yang lalu gue merasa
takut. Jangankan untuk berbicara di depan kelas, untuk masuk dan hanya berjalan
saja gue gak berani. Namun lain halnya dengan saat ini. Ada beberapa faktor yang membuat gue percaya
diri. Pertama karena ada Arman yang udah gue kenal meski baru beberapa hari,
namun gue merasa percaya diri kalo ada dia. Dan yang kedua tentunya karena Marissa.
Gue ingin dia kenal gue meskipun untuk saat ini hanya mengenal nama dan wajah.
Tapi gue yakin Marissa dan gue akan saling mengenal satu sama lain bahkan
mengenal hati masing-masing hehe. Saat gue berbicara mengenai latar belakang
gue, sesekali gue lirikan mata ini pada Marissa. Dalam bayangan gue Marissa memperhatikan
apa yang gue katakan dan tentunya memperhatikan ke handsome-man gue ini.
Ternyata oh ternyata, jangankan untuk memperhatikan, melihat pun dia tidak.
Marissa hanya memandangi pemandangan diluar kelas lewat pintu kelas yang
setengah tebuka dengan mata kosong sambil menopangkan kedua siku tangannya di
atas meja dan menaruh dagu di kedua telapak tangannya yang terbuka membentuk
huruf “V”, jika di lihat dari depan. “Terima kasih atas perhatian nya , salam
kenal.” Tutup gue singkat dalam sesi perkenalan diri. Gue kembali berjalan
menuju tempat duduk gue dan gak bosan sesekali mata gue meliriknya meskipun dia
gak sedikitpun memperdulikan gue. Sepertinya akan sulit buat gue mendekatinya.
Namun dalam kamus gue gak pernah ada kata menyerah untuk menjemput cinta.
**
Seperti hari-hari biasanya, suasana dikantin selalu ramai
dengan aktivitas para siswa yang sedang mengisi perutnya di jam istirahat. Gak
jarang ada siswa yang hanya sekedar mengobrol atau bercanda gurau dengan
teman-temannya. Gue cuma duduk terdiam dengan menopangkan kedua tangan ke atas
meja dan sambil menikmati es teh berkemasan botol, dengan mata kosong
membayangkan sesuatu sembari duduk di kursi panjang yang tersedia di kantin
untuk tempat para siswa duduk menyantap jajanannya. Kembali khayalan gue
tentang Marissa datang tanpa di undang. Sampai-sampai gue gak mendengarkan Arman
yang juga sedang duduk di samping kiri gue, yang sedari tadi berbicara sama gue.
“Ma, gue gak mau minum jus tomat yang kemarin lagi ah, pulang-pulang perut gue
jadi sakit gara-gara minum jus itu. Dan sekarang gue juga gak mau makan bakso
pedes-pedes. Sampai sekarang sakitnya masih belum hilang,” jelasnya sambil sesekali
menyuapkan sendok-persendok bakso yang ada di hadapannya. “ Ma? Tama?”
Panggilnya sembari menyenggol-nyenggolkan siku tangan kanannya ke tangan kiri
gue. Membuat gue fokus sejenak dari lamunan Marissa. “Yah, si Tama. Gue ngomong
dari tadi gak di dengerin. Bengong aja terus Ma, kerasukan setan baru tau rasa lu.”
Ungkapnya, dengan sedikit kesal karena merasa ucapannya gak didengarkan sama
gue. “Mikirin apa sih lu Ma?, kayanya berat banget tuh masalah.” Tanya Arman
penasaran. “Gak apa-apa Man, Cuma lagi mikirin sesuatu yang menyangkut hati aja.”
Jawab gue singkat dengan sedikit senyuman. “Wah gue tahu nih. Tentang cewek di
kelas itu yah? Lumayan juga Ma, dia cantik pinter pula. Sikat aja Ma sebelum
terlambat, takut ada yang nyalip.” Ungkap Arman tertawa. “Iya man, gue lagi
mikirin si Marissa. Bukan mikirin sih, lebih tepatnya kepikiran. Sampe-sampe dia
kebawa mimpi hadir di mimpi gue Man.” Jelas gue masih tetap dengan pandangan
kosong ke depan. “Wah bahaya, bahaya,,,” Teriak Arman, hingga membuat sebagian
orang yang ada di kantin menujukan tatapannya pada Arman. “Sst, berisik Man!
Ngapain teriak-teriak gak jelas gitu?” Karena merasa sedikit malu dengan apa
yang dilakukan Arman. Gue pun pergi meninggalkannya menuju kelas. “Yah, si
Tama. Ma ! Tunngu! Ini baksonya belum abis, sayang woy.” Teriaknya memanggil
gue. Dia pun berlari menyusul gue, menghabiskan cepat-cepat bakso nya,
menyuapkannya lagi meskipun dimulut masih ada bakso yang belum di kunyahnya dan
mendorong paksa bakso itu dengan segelas es teh manis.
Selangkah kaki kanan gue memasuki ruangan kelas.
“Tamaaaaa!!!” Teriakan layaknya petir awal musim hujan menggelegar di ruangan
kelas, jelas teriakan itu mengarah pada gue. “Lu mau bikin gue mati kecapean
apa? Itu lantainya baru di pel Tama, buka sepatunya sebelum masuk kelas.”
Makian poppy gak gue gubris. gue turuti dia untuk membuka sepatu sebelum
memasuki ruang kelas. Saat gue lepas sepatu gue satu-persatu. Sial, gue pakai
kaos kaki yang bolong, membuat jempol kaki kanan gue bebas menghirup udara segar.
Tertawalah si nenek lampir (Poppy) itu, tertawa puas di atas penderitaan orang
lain. Namun gak gue sangka, Marissa yang sedari tadi menyaksikan adegan fighting
ala bocah SMP antara gue dan poppy (Arjuna vs mak lampir) memperhatikan
gerak-gerik gue. Saat melihat Ibunya anak-anak jari (jempol) kaki gue keluar
dari tempat persembunyian nya Marissa pun tersenyum simpul, menutup sedikit
bagian bibirnya dengan rapatan jari tangan kanannya dan memandang gue dengan
mata yang agak terpejam tertarik otot wajahnya yang sedang tersenyum. Gue balas
senyumannya dengan agak malu. Sekarang gue tahu cara buat mendekatinya.
Bayangan gue pun terproyeksi jelas. Dia tersenyum melihat kaos kaki gue bolong,
bagaimana kalau gue memakai celana yang bagian belakangnya bolong? dan baju
yang bagian ketiaknya bolong? Plus memakai topi dan dasi yang tengahnya bolong.
Mungkin dia bisa tersenyum lagi bahkan tertawa ke gue. Karena kata orang-orang
bijak. “jika ingin mendapatkan hati seorang wanita, buat dia senang dan
sedikitnya bisa tersenyum karenamu.” Tapi sepertinya itu bukan cara yang tepat.
Harus cari cara lain agar dia tersenyum lagi ke gue hahay. Sebelum yang lain
menertawakan gue, gue lepas kaos kaki itu dan memilih untuk bertelanjang kaki.
“tteeeeeettttttt!!!teeetttt!!teettttt!!” Bel pulang telah
berbunyi. Hampir di setiap kelas para siswa keluar bersamaan seperti berlomba
dengan teriakan-teriakan candaan ala anak SMP. Gue yang saat itu masih sibuk
membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas, merasa sangat beruntung.
Gue sengaja menyuruh Arman pulang terlebih dahulu karena memang berniat untuk
menunggu Marissa pulang. Biasanya gue pulang nebeng bareng Arman. “Dagdigdugdagdigdugdagdigdug”.
Suara debar jantung gue, yang udah kayak musik disco bertempo tinggi. Ada rasa ingin
menghampirinya namun malu rasanya oohh. Tapi ini kesempatan, mumpung di kelas
hanya ada gue, Marissa, dan teman dekatnya Lulu. Gue coba menenangkan hati, berusaha
untuk meberanikan diri gue. Gue bangunkan tubuh gue dan berjalan mendekati dua
orang sahabat yang sedang duduk berdua dan terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
Setelah gue dekati dan gue perhatikan. Ternyata mereka sedang mengerjakan tugas
matematika yang harus di kumpulkan besok pagi. Terlihat oleh mata gue Marissa
mencoba mengajarkan materi yang belum Lulu mengerti. Oh baiknya pujaan hati gue,
hihi. “Hai?” Tanya gue pada mereka. “Eh, si ganteng. Kok belum pulang? Nungguin
Lulu ya?” Lulu menjawab dengan ekspresi wajah genitnya, senyum-senyum menggelikan.
Makasih sebelumnya udah dibilang ganteng, memang nyatanya begitu. Tapikan gue
berharap Marissa yang jawab, kenapa kembaran olive ceweknya popeye yang nyaut.
Dan si Lulu ini memang mirip dengan olive, bisa di bilang di dunia nyata nya ,
olive itu ya Lulu. “Belum, pengen pulang aja, abisnya bete dirumah. Enggak,
bukan nungguin Lulu, nunggu kereta pake baling-baling.” “Mana ada kereta pake
baling-baling?” Tanya Lulu memprotes. “Ya emang gak ada, kan Tama juga lagi nunggu.” Jawab gue dengan
sedikit menggodanya. “Ih, si ganteng bisa aja deh ah.” Sahutnya genit sambil
tersenyum melirik gue dan mencubit gemas bagian kanan perut gue dengan tangan
kirinya. Sementara itu Marissa masih tetap sibuk dengan pekerjaannya. Walaupun
sesekali dia melirik pada gue sambil tersenyum simpul karena mendengar
percakapan gue dengan Lulu. Iya? Tidak? Iya? Tidak? Iya? Tidak?. Pertanyaan itu
memenuhi pikiran gue. Antara gue ngomong sama dia atau enggak. Tapi sekali lagi
ini kesempatan, jangan sampai gue menyia-nyiakan nya. “Hai Marissa, sibuk
banget keliatannya. Lagi apa?” Tanya gue dengan sedikit malu-malu yang gue
tekan. Namun sepertinya dia gak mendengarkan perkataan gue. Dia asyik dengan
dunianya sendiri. “Marissa gak bisa di ganggu kalo lagi serius, apa lagi kalo
ngerjain tugas. Kalo mau ngobrol sama aku aja.” Sambar Lulu layaknya bensin
menemukan api dengan senyumnya yang membuat gue gak bisa makan selama dua hari.
Jujur gue gak suka sama cewek yang centil. “Udah selesai nih Lu. Maaf ya Tama,
tadi aku lagi ngejar waktu. Jadinya gak bisa di ajak ngobrol.” Kata Marissa
sambil memberikan buku tugasnya pada Lulu. “Oke, bukunya gue pinjem dulu ya.
Dah semuanya gue duluan.” Lulu beranjak pergi dari tempat kami dengan
melambaikan tanganya dan mengedipkan mata sebelah kanan nya pada Marissa. Gue gak
tahu apa arti dari kedipan mata Lulu itu. “Iya gak apa-apa Sa, aku ngerti kok.”
Sok pegertiannya gue keluar. Biar doi nganggep gue itu tipycle cowok yang
pengertian, hehe. Di tempat itu gue hanya berdua dengan Marissa. Sumpah hati gue
gak karuan. Cenat-cenut gimana gitu, bingung pula gue harus ngapain. Saat
seperti itu gue harus bertanya sama siapa? supaya gue bisa keluar dari situasi
yang bikin gue bimbang. Relax Tama relax. Tiba-tiba gue mendengar suara
entah darimana, mungkin malaikat yang ada di samping gue. Sampai gue ngekhayal
malaikat itu tepat di samping kanan gue sambil berbisik ke telinga gue dan
membawa-bawa buku binder plus pulpennya. Ah pikiran gue mulai ngawur gak tentu
arah. “Tama? Tama? Kok bengong?” Tanya Marissa sambil melambai-lambaikan tangan
kanannya depan mata gue. Suara manis yang benar-benar menyejukkan hati
terdengar oleh telinga gue. Oh, sumpah ini gak boong. “Eh, enggak Sa. Tadi aku
kepikiran teman ku Arman.” Jawab gue berharap dia percaya. Astaga! Gue beneran
kepikiran Arman. Kunci rumah dia masih ada di gue, soalnya tadi pas di kantin
dia menitipkan kunci rumahnya ke gue. Waduh, pasti dia lagi kebingungan
nyari-nyari kunci. Mulai dari ngocek kantong celana, baju, tas, sampe sepatu
dan kaos kakinya. Mudah-mudahan dia inget kalo kuncinya masih ada di gue dan
gak sampai dia buka-buka baju sama celana nya yang mungkin dia kira nyempil di
kaos dalam atau boxer pink kesayangannya yang selalu di pake setiap hari dan di
cuci hanya sebulan sekali itu. “Oh, ciee yang kepikiran terus sahabat baru.
Kamu mau langsung pulang?” Tanya Marissa sambil menggoda gue dengan senyuman
mautnya yang mirip Dian Sastro itu. “Ah kamu bisa aja. Gak tahu nih, emang kamu
mau langsung pulang.?” Jawab gue lanjut bertanya, gak lupa di bumbui senyuman
Nicholas Saputra. Wahah, cocok deh. Dia punya senyuman Dian Sastro, gue punya
senyuman Nicholas Saputra. Pasangan serasi yang ada di film Ada Apa Dengan
Cinta itu loh. “Aku mau ke kantin dulu sih sebentar. Mau nganterin
titipan dari mama ke ibu kantin. Kamu mau ikut? Kalo mau pulang duluan juga gak
apa-apa kok.” Tak henti-hentinya dia melontarkan senyumannya ke gue yang
membuat gue jadi keGE.ERan abis. “Iya aku ikut.” Jawab gue kegirangan,
jangankan Cuma nganter dia ke kantin. Mengantarnya ke Paris , eh jangan kejauhan. Mengantarnya ke Bali naik becak pun gue rela meskipun gue
yang jadi pilotnya. Membayangkan gue pakai pakaian pilot mengayuh becak sampai Bali , dan dia duduk manis di kursi penumpang sambil
tersenyum-senyum menikmati hembusan angin dari pintu becak membuat rambutnya
terurai. So sweet banget dah. Tapi kalo beneran, pasti kaki gue mampu menyaingi
besarnya kaki gajah. Gak masalah bagi gue, asalkan bersamanya gue selalu bisa merasa
bahagia.
Singkat cerita, gue udah sampai di gerbang depan sekolah.
Gue sengaja gak menceritakan kejadian di kantin. Gue males membahas ibu
kantinnya. Dan gue harap kalian juga gak ingin tahu tentang ibu itu.
Pendengarannya agak sedikit terganggu, jadi kalo ngomong sama dia harus pakai
nada tinggi ala-ala penyanyi rock. Dan suaranya itu yang bikin gue gak nahan.
Kalo dia ngomong, gelas, piring, kaca juga bisa sampai pecah, cempreng banget. Gak jauh
beda suaranya sama Mpok Nori. Sepertinya jaman-jaman dia muda, dia pernah jadi
penyanyi rock sejati. Sampai suara rocknya melekat hingga sekarang. “Bu, ini
titipan dari mamah.” Dengan anggunya Marissa berbicara sambil menyondorkan apa
yang di bawanya pada ibu kantin. Dia tepat berada di depan gue dan Marissa. Sebut
saja namanya Bu Idah. Yah, kenapa gue jadi cerita dia? Tapi gak apa-apa lah,
sudah terlanjur kering. “Eh,Neng Marissa ya? Iya neng sampein ke mama, makasih
gitu ya kata ibu.” Ya ampun, suaranya bikin rambut gue sampai acak-acakan gak
jelas. Gue berasa di terpa badai pas dia lagi ngomong. Wuussssshhhh ,
wah gak kuat deh pokonya.
Hanya sekejap waktu saja gue sudah bisa mengontrol hati gue.
Ternyata memang benar, kita gak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika
kita hanya berdiam diri dan tak melakukan sesuatu apapun. Balik lagi ke cerita,
gue dan Marissa sudah tepat berada di depan gerbang sekolah. “Kamu pulang
sendiri atau ada yang jemput?” Tanya gue penasaran. “Aku di jemput Ma, sama Om. ” Jawabnya, semakin membuat gue geregetan jadinya
geregetan. “Oh, di kira sendiri. Tadinya kalo sendiri aku anterin.” Gue sedikit
memberi perhatian padanya. “Yah, aku di jemput Ma, lain kali aja ya. Memang
kamu pulang naek apa? Kamu bawa motor?” “Enggak, aku naek mobil Sa, tadinya mau
aku anterin kamu naek mobil.” “Loh, emang kamu udah punya SIM? Kok udah berani
bawa-bawa mobil.?” Tanyanya heran. “aku cuma naek, yang bawa itu supir.” Jawab
gue membuat dia penasaran. “Oh, kamu juga di jemput? Hebat ya di antar jemput
pake mobil.” Tanyanya lagi dengan senyuman. “Aah, biasa aja kali Sa, aku jadi
malu.” Jawab gue menahan rasa ingin tertawa. Gak lama Om
nya Marissa pun datang. “Tama, aku duluan ya, Om
aku udah dateng.” Pamitnya pada gue. “Iya Sa hati-hati, mobil aku juga udah
nunggu dari tadi.” “emang mobil kamu yang mana?” Tanyanya sangat peasaran. “Tuh
yang itu.” Jawab gue sambil mengarahkan telunjuk gue ke arah mobil yang berwarna
kuning bergaris hijau tua di bagian bawah body nya bernomor 08 pada body sampingnya. “itu kan angkutan kota
Ma?” tanyanya semakin heran. “Iya aku pulang naek itu.” Jawab gue sambil
tertawa. Dan dia pun tertawa karena kekonyolan gue. Mungkin dia pikir gue anak
orang kaya yang di antar jemput dengan mobil mewah kali ya? “Kamu bisa aja
deh.” Ucapnya sambil menyenggolkan siku tangan kanannya ke punggung bagian kiri
gue. “Yauda, aku pulang ya? dah Tama hati-hati di jalan ya.” Dia kembali
berpamitan dan sambil melambaikan tangannya sebahu. “Daah, kamu juga
hati-hati.” Jawab gue sedikit teriak dan melambaikan tangan gue, karena dia udah
berlari menjauh menghampiri Om nya. Setelah dia
menaiki motor itu dengan posisi kedua kakinya berada di sebelah kiri motor jika
dilihat dari belakang. Dia kembali melambaikan tangannya ke arah gue dari kejauhan.
Gue pun melambaikan tangan padanya dan sembari berkata di dalam hati “ini bukanlah
lambaian terakhir dari gue.”
Setelah pandangannya lepas dari gue, secepat kilat gue
berlari menuju angkot yang sedang menunggu penumpang. Gue loncat masuk lewat
pintu angkot itu, dengan tangan dan kepala terlebih dahulu. Seperti Jackie chan yang sedang melompat menembus
kaca. Alhasil gue duduk dengan kepala berada di bawah dan kaki tersandar di
kaca jendela angkot. “Bang,cepet bang jalan bang.” Paksa gue. Agar supir angkot
itu segera menjalankan mesin tempurnya. “Sabar atuh de, angkotnya masih kosong
ini teh.” Sahutnya dengan logat khas sunda. “Iya tau, ,tapi saya lagi buru-buru
ini bang. Saya bayar 3x lipat deh.” Paksa gue lagi. Dan mebuat kesepakatan
dengannya. “Yah, gimana atuh de? Sebentar atuh lima menitan lagi yah?” Jawabnya kalem. “Ini
gawat darurat bang, Ayo dong. Please.” Sampe mohon-mohon gue sama dia. “Ya udah
atuh, tapi jangan 3x lipat atuh de.” Tawarnya. Disini gue adu tawaran sama
abang tukang angkot. “Yaudah 4x lipat?” “5x lipat de?” “6x lipat? bang” “7x
lipat de?” “Yaudah ini tawaran terakhir bang, tapi abang harus jalan sekarang
juga. 2x lipat deal or no deal?” “Nah gitu dong dari tadi de, Deal! Pegangan de. Kita
meluncur.” Dalam hati gue, ini orang bego apa tolol? Gue ngasih tawaran 3x
lipat dia malah pengen 2x lipat. Tapi gue gak peduli, yang penting gue sampai
ke rumahnya Arman. Kayaknya ini supir emang gila beneran. Gue di bawa
kebut-kebutan sama dia. Sampai pontang-panting gue sendirian di kursi
penumpang. Di banting kiri, di banting kanan, nyungseb ke depan, sampai
ngejengkang gue kebelakang. Naik angkot tapi berasa naik kapal laut yang lagi
di terpa badai samudra atlantik. Bener-bener stress ini supir, kayaknya gue
salah masuk angkot. Dan sepertinya dia mantan pembalap NASCAR. “Ini dimana
bang?” tanya gue heran sambil melihat keluar jendela mobil. “Di pasar gede. Emang
ade mau kemana?” Tanya dia santai. “Aduh kelewat bang. Saya mau ke jalan merpati
3.”jawab gue sambil tepuk kening dengan telapak tangan kanan gue. “Ade sih
malah joged-joged terus dari tadi, gak enak saya nanyanya juga.” Sahutnya sambil
berkaca merapihkan rambut dengan sisir kecil berwarna biru muda. Dalam hati gue. Mata
lu joged-joged, gue tadi abis kena gempa. “Yaudah saya turun disini aja bang. Sesuai
dengan kesepakatan, saya bayar 2x lipat.” Kata gue sambil turun dan memberikan
sejumlah uang pada supir itu. “Eh, tunggu de. Tapi kan ini melebihi tujuan, harusnya 3 kali
lipat dong?” Semakin kesel gue di buatnya. Ini orang yang dinamakan PPB, (pinter-pinter
bodoh) tuh kayak gini. Gue gak mau berlama-lama dekat dia. Gue kasih tambahan
uangnya dan gak lupa mengucapkan makasih. Bagaimana pun dia udah mau nganterin
gue, meskipun gue sedikit tersiksa. Pikiran gue terus tertuju pada Arman, gue
lari menuju rumah Arman meskipun lumayan jauh dan cuaca saat itu benar-benar
panas. Serasa lari marathon dipadang pasir. Gue berhenti sejenak untuk
istirahat. Duduk di kursi panjang tepian trotoar tepat di sebuah warung kecil. Gue
melihat seseorang sedang menikmati air kemasan botol yang sepertinya nikmat
sekali. Gue haus, duit abis gara-gara tukang angkot sengklek itu. Gue harus
gimana? Andai saja datang seseorang yang menawari gue segelas air, pasti gue
minta sebotol. Haus banget!!! Gue tahan semua rasa itu, gue yakin pasti ada
yang lebih sengsara dari gue saat ini di luar sana . Gue lanjut berlari menuju rumah Arman. Dengan
segenap jiwa dan segala perjuangan yang gue kerahkan sekuat tenaga, akhirnya
gue tiba di depan rumah Arman. Dan ternyata firasat gue benar. Saat gue tiba di
rumahnya, Arman sudah tertidur pulas bersandar di depan pintu rumahnya. Dan,
dia telah menanggalkan bajunya. Dia hanya menggunakan kaos dalam dan boxer pink
kesayangannya, plus sepatu lengkap dengan kaos kakinya yang masih terpasang di kakinya dan mungkin lupa dia
lepas. “Man? Arman? Bangun. Ini gue Tama.” Kata gue. Berniat membangunkanya
dengan menggoyah-goyahkan badannya. “Huaaa. Elu Ma. Gue kira lu gak akan
kesini. Ngebiarin gue kayak orang gila begini.” Katanya sambil terlebih dahulu
menguap. “Gue lupa kunci lu masih ada di gue. Yauda sekarang pake baju lu, terus
anterin gue pulang. Duit gue abis, jadi gak ada ongkos buat pulang.” “Yauda
ayo, lu ah ada-ada aja. Pasti ada yang bikin lu lupa ya?” kataya sembari
memakaikan baju dan celananya satu persatu. Gue hanya bisa tersenyum mendengar
perkataan Arman. Sorry Man, tadi gue terlalu senang bisa ngobrol bareng
Marissa. Jadi gue seakan lupa segalanya. Mudah-mudahan lu bisa ngerti. Hati
gue bergumam. “Lu mau pulang sekarang? Gak mau minum atau istirahat dulu?”
Tawarnya Arman. “Udah gak usah, takut nyokap nyariin gue. Tapi kalo minum boleh
tuh. Gue haus banget.” Jawab gue sambil memberikan kunci rumahnya.
**
Semenjak saat itu gue mulai dekat dengan Marissa. Meskipun
masih jarang kita ngobrol, tapi dia udah mulai bisa membalas senyuman gue. Ternyata
dia gak seperti yang gue duga. Gue kira dia jutek, susah bergaul, dan lain
sebagainya. Dia itu baik, ramah, dan rasa pedulinya cukup besar. Contohnya saat
dia berkumpul menikmati jajanan kantin dengan teman-temannya di kelas. Dan kebetulan
ada salah satu temannya yang saat itu gak membeli jajanan. Dia memilih untuk
membagi jajanan yang di pegangnya itu dengan temannya yang gak membeli jajanan . Dia bilang.” Kita makan
berdua aja bareng-bareng, aku gak yakin bisa ngehabisin ini.” Benar-benar cewek
idaman. Cocok banget dah sama gue yang ganteng, baik, rajin menabung, dan tidak
sombong ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar