Minggu, 10 November 2013

Bukan Cintanya Monyet - Ucapan Pengobat Rindu

Gak seperti biasanya suasana di dalam kelas begitu sejuk dan tenang gue rasakan. Dinginnya udara bercampur hangatnya sinar mentari yang menembus kaca jendela kelas gue membuat gue semakin nyaman saat memandangi cewek yang belum gue tahu namanya. Dia tepat duduk di bangku terdepan sejajar dengan bangku yang gue duduki dan terhalang 3 meja antara tempat duduk gue dengan tempat duduknya. Tepat pukul 7 pagi setelah 15 menit yang lalu bel masuk berbunyi. “Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak?” Suara itu mengacaukan pikiran gue yang tengah memandanginya. Bu Dina memberi salam pada siswa dan menyapa kami sembari memasuki kelas. Secepat mobil F1 dia berjalan dan lekas menduduki bangkunya yang telah tersedia di sebelah kanan papan tulis. “Waalaikumsalam warahmatullahi wabbarakatu. Pagi bu..!!!” Serentak para siswa pun menjawab salam dari Bu Dina. Lalu kemudian Bu Dina berdiri dari duduknya dan perlahan berjalan tepat menuju ke depan kelas dengan posisi menghadap kami. Bu Dina memperkenalkan dirinya pada para siswa dan  memberitahu kami bahwa selain dia menjadi guru kami di bidang studi bahasa Indonesia, dia pun sekaligus menjadi wali kelas kami. Setelah merasa cukup baginya untuk memperkenalkan diri, dia pun duduk kembali dan memerintahkan kepada para siswa untuk memperkenalkan diri masing-masing di depan kelas. Dengan berbekal secarik kertas Absen, Bu Dina memanggil nama para siswa satu-persatu dimulai dari urutan yang pertama. Setelah beberapa siswa selesai memperkenalkan diri, Bu Dina memanggil nama siswa selanjutnya. “Marissa.??” Panggil Bu Dina dengan lantang hingga suaranya memenuhi seluruh sudut kelas. Para siswa menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan penuh rasa penasaran seakan-akan seperti harimau yang sedang memburu mangsanya hanya untuk sekedar mengetahui siapa orang yang memiliki nama itu, begitu pun Gue. Saat gue arahkan wajah gue lurus ke depan, gue lihat cewek yang membuat gue penasaran itu berdiri dan menempatkan tubuhnya dengan posisi berdiri menghadap para siswa. “Tuh dia maju Ma..” Arman menggoda gue dengan senyuman mengejek dan sedikit mendorong pelan bahu kiri gue dengan siku tangan kanannya.  Gue gak menghiraukan apa yang dikatakan Arman. Gue hanya tertuju pada perkataan cewek itu dan rasa ingin tahu gue yang sangat besar ini yang membuat gue seperti itu. Soal Arman, gue cuma membalas candaannya dengan senyuman yang sama persis dengan senyuman yang dimiliki Vino G. Bastian haha. Mata, pikiran, dan mungkin hati ini hanya tertuju pada apa yang dia lakukan dan dia katakan. “Perkenalkan nama saya Marissa…” Karena tempat duduk gue paling belakang dan suara cewek itu pun gak terlalu keras, samar-samar di telinga gue mencoba mendengarkan ucapannya. Namun yang jelas gue udah tahu siapa namanya. “MARISSA, nama yang cocok untuk gadis secantik dia”. Dalam hati gue bergumam. Gue cuma mencuri-curi kesempatan, keberuntungan sedang berpihak sama gue. Disaat gue ingin mengenalnya, tapi gue gak memiliki keberanian lebih untuk bertanya langsung pada Marissa. Akhirnya datang waktu dimana gue harus tahu siapa namanya. Setelah Marissa duduk kembali ke tempatnya dan beberapa siswa telah memperkenalkan diri, kini giliran gue untuk eksis, ya minimal di kelas dulu sebelum satu SMP mengenal siapa itu Pratama. “Pratama??” Bu Dina memanggil gue. Lekas gue berdiri dan menuju tempat yang beberapa saat tadi Marissa tepat berdiri disana. Dengan suara lantang gue coba memperkenalkan diri ” Hai nama saya Pratama, panggil saja saya Tama.” Beberapa hari yang lalu gue merasa takut. Jangankan untuk berbicara di depan kelas, untuk masuk dan hanya berjalan saja gue gak berani. Namun lain halnya dengan saat ini. Ada beberapa faktor yang membuat gue percaya diri. Pertama karena ada Arman yang udah gue kenal meski baru beberapa hari, namun gue merasa percaya diri kalo ada dia. Dan yang kedua tentunya karena Marissa. Gue ingin dia kenal gue meskipun untuk saat ini hanya mengenal nama dan wajah. Tapi gue yakin Marissa dan gue akan saling mengenal satu sama lain bahkan mengenal hati masing-masing hehe. Saat gue berbicara mengenai latar belakang gue, sesekali gue lirikan mata ini pada Marissa. Dalam bayangan gue Marissa memperhatikan apa yang gue katakan dan tentunya memperhatikan ke handsome-man gue ini. Ternyata oh ternyata, jangankan untuk memperhatikan, melihat pun dia tidak. Marissa hanya memandangi pemandangan diluar kelas lewat pintu kelas yang setengah tebuka dengan mata kosong sambil menopangkan kedua siku tangannya di atas meja dan menaruh dagu di kedua telapak tangannya yang terbuka membentuk huruf “V”, jika di lihat dari depan. “Terima kasih atas perhatian nya , salam kenal.” Tutup gue singkat dalam sesi perkenalan diri. Gue kembali berjalan menuju tempat duduk gue dan gak bosan sesekali mata gue meliriknya meskipun dia gak sedikitpun memperdulikan gue. Sepertinya akan sulit buat gue mendekatinya. Namun dalam kamus gue gak pernah ada kata menyerah untuk menjemput cinta.

**

Seperti hari-hari biasanya, suasana dikantin selalu ramai dengan aktivitas para siswa yang sedang mengisi perutnya di jam istirahat. Gak jarang ada siswa yang hanya sekedar mengobrol atau bercanda gurau dengan teman-temannya. Gue cuma duduk terdiam dengan menopangkan kedua tangan ke atas meja dan sambil menikmati es teh berkemasan botol, dengan mata kosong membayangkan sesuatu sembari duduk di kursi panjang yang tersedia di kantin untuk tempat para siswa duduk menyantap jajanannya. Kembali khayalan gue tentang Marissa datang tanpa di undang. Sampai-sampai gue gak mendengarkan Arman yang juga sedang duduk di samping kiri gue, yang sedari tadi berbicara sama gue. “Ma, gue gak mau minum jus tomat yang kemarin lagi ah, pulang-pulang perut gue jadi sakit gara-gara minum jus itu. Dan sekarang gue juga gak mau makan bakso pedes-pedes. Sampai sekarang sakitnya masih belum hilang,” jelasnya sambil sesekali menyuapkan sendok-persendok bakso yang ada di hadapannya. “ Ma? Tama?” Panggilnya sembari menyenggol-nyenggolkan siku tangan kanannya ke tangan kiri gue. Membuat gue fokus sejenak dari lamunan Marissa. “Yah, si Tama. Gue ngomong dari tadi gak di dengerin. Bengong aja terus Ma, kerasukan setan baru tau rasa lu.” Ungkapnya, dengan sedikit kesal karena merasa ucapannya gak didengarkan sama gue. “Mikirin apa sih lu Ma?, kayanya berat banget tuh masalah.” Tanya Arman penasaran. “Gak apa-apa Man, Cuma lagi mikirin sesuatu yang menyangkut hati aja.” Jawab gue singkat dengan sedikit senyuman. “Wah gue tahu nih. Tentang cewek di kelas itu yah? Lumayan juga Ma, dia cantik pinter pula. Sikat aja Ma sebelum terlambat, takut ada yang nyalip.” Ungkap Arman tertawa. “Iya man, gue lagi mikirin si Marissa. Bukan mikirin sih, lebih tepatnya kepikiran. Sampe-sampe dia kebawa mimpi hadir di mimpi gue Man.” Jelas gue masih tetap dengan pandangan kosong ke depan. “Wah bahaya, bahaya,,,” Teriak Arman, hingga membuat sebagian orang yang ada di kantin menujukan tatapannya pada Arman. “Sst, berisik Man! Ngapain teriak-teriak gak jelas gitu?” Karena merasa sedikit malu dengan apa yang dilakukan Arman. Gue pun pergi meninggalkannya menuju kelas. “Yah, si Tama. Ma ! Tunngu! Ini baksonya belum abis, sayang woy.” Teriaknya memanggil gue. Dia pun berlari menyusul gue, menghabiskan cepat-cepat bakso nya, menyuapkannya lagi meskipun dimulut masih ada bakso yang belum di kunyahnya dan mendorong paksa bakso itu dengan segelas es teh manis.

Selangkah kaki kanan gue memasuki ruangan kelas. “Tamaaaaa!!!” Teriakan layaknya petir awal musim hujan menggelegar di ruangan kelas, jelas teriakan itu mengarah pada gue. “Lu mau bikin gue mati kecapean apa? Itu lantainya baru di pel Tama, buka sepatunya sebelum masuk kelas.” Makian poppy gak gue gubris. gue turuti dia untuk membuka sepatu sebelum memasuki ruang kelas. Saat gue lepas sepatu gue satu-persatu. Sial, gue pakai kaos kaki yang bolong, membuat jempol kaki kanan gue bebas menghirup udara segar. Tertawalah si nenek lampir (Poppy) itu, tertawa puas di atas penderitaan orang lain. Namun gak gue sangka, Marissa yang sedari tadi menyaksikan adegan fighting ala bocah SMP antara gue dan poppy (Arjuna vs mak lampir) memperhatikan gerak-gerik gue. Saat melihat Ibunya anak-anak jari (jempol) kaki gue keluar dari tempat persembunyian nya Marissa pun tersenyum simpul, menutup sedikit bagian bibirnya dengan rapatan jari tangan kanannya dan memandang gue dengan mata yang agak terpejam tertarik otot wajahnya yang sedang tersenyum. Gue balas senyumannya dengan agak malu. Sekarang gue tahu cara buat mendekatinya. Bayangan gue pun terproyeksi jelas. Dia tersenyum melihat kaos kaki gue bolong, bagaimana kalau gue memakai celana yang bagian belakangnya bolong? dan baju yang bagian ketiaknya bolong? Plus memakai topi dan dasi yang tengahnya bolong. Mungkin dia bisa tersenyum lagi bahkan tertawa ke gue. Karena kata orang-orang bijak. “jika ingin mendapatkan hati seorang wanita, buat dia senang dan sedikitnya bisa tersenyum karenamu.” Tapi sepertinya itu bukan cara yang tepat. Harus cari cara lain agar dia tersenyum lagi ke gue hahay. Sebelum yang lain menertawakan gue, gue lepas kaos kaki itu dan memilih untuk bertelanjang kaki.

“tteeeeeettttttt!!!teeetttt!!teettttt!!” Bel pulang telah berbunyi. Hampir di setiap kelas para siswa keluar bersamaan seperti berlomba dengan teriakan-teriakan candaan ala anak SMP. Gue yang saat itu masih sibuk membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas, merasa sangat beruntung. Gue sengaja menyuruh Arman pulang terlebih dahulu karena memang berniat untuk menunggu Marissa pulang. Biasanya gue pulang nebeng bareng Arman. “Dagdigdugdagdigdugdagdigdug”. Suara debar jantung gue, yang udah kayak musik disco bertempo tinggi. Ada rasa ingin menghampirinya namun malu rasanya oohh. Tapi ini kesempatan, mumpung di kelas hanya ada gue, Marissa, dan teman dekatnya Lulu. Gue coba menenangkan hati, berusaha untuk meberanikan diri gue. Gue bangunkan tubuh gue dan berjalan mendekati dua orang sahabat yang sedang duduk berdua dan terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Setelah gue dekati dan gue perhatikan. Ternyata mereka sedang mengerjakan tugas matematika yang harus di kumpulkan besok pagi. Terlihat oleh mata gue Marissa mencoba mengajarkan materi yang belum Lulu mengerti. Oh baiknya pujaan hati gue, hihi. “Hai?” Tanya gue pada mereka. “Eh, si ganteng. Kok belum pulang? Nungguin Lulu ya?” Lulu menjawab dengan ekspresi wajah genitnya, senyum-senyum menggelikan. Makasih sebelumnya udah dibilang ganteng, memang nyatanya begitu. Tapikan gue berharap Marissa yang jawab, kenapa kembaran olive ceweknya popeye yang nyaut. Dan si Lulu ini memang mirip dengan olive, bisa di bilang di dunia nyata nya , olive itu ya Lulu. “Belum, pengen pulang aja, abisnya bete dirumah. Enggak, bukan nungguin Lulu, nunggu kereta pake baling-baling.” “Mana ada kereta pake baling-baling?” Tanya Lulu memprotes. “Ya emang gak ada, kan Tama juga lagi nunggu.” Jawab gue dengan sedikit menggodanya. “Ih, si ganteng bisa aja deh ah.” Sahutnya genit sambil tersenyum melirik gue dan mencubit gemas bagian kanan perut gue dengan tangan kirinya. Sementara itu Marissa masih tetap sibuk dengan pekerjaannya. Walaupun sesekali dia melirik pada gue sambil tersenyum simpul karena mendengar percakapan gue dengan Lulu. Iya? Tidak? Iya? Tidak? Iya? Tidak?. Pertanyaan itu memenuhi pikiran gue. Antara gue ngomong sama dia atau enggak. Tapi sekali lagi ini kesempatan, jangan sampai gue menyia-nyiakan nya. “Hai Marissa, sibuk banget keliatannya. Lagi apa?” Tanya gue dengan sedikit malu-malu yang gue tekan. Namun sepertinya dia gak mendengarkan perkataan gue. Dia asyik dengan dunianya sendiri. “Marissa gak bisa di ganggu kalo lagi serius, apa lagi kalo ngerjain tugas. Kalo mau ngobrol sama aku aja.” Sambar Lulu layaknya bensin menemukan api dengan senyumnya yang membuat gue gak bisa makan selama dua hari. Jujur gue gak suka sama cewek yang centil. “Udah selesai nih Lu. Maaf ya Tama, tadi aku lagi ngejar waktu. Jadinya gak bisa di ajak ngobrol.” Kata Marissa sambil memberikan buku tugasnya pada Lulu. “Oke, bukunya gue pinjem dulu ya. Dah semuanya gue duluan.” Lulu beranjak pergi dari tempat kami dengan melambaikan tanganya dan mengedipkan mata sebelah kanan nya pada Marissa. Gue gak tahu apa arti dari kedipan mata Lulu itu. “Iya gak apa-apa Sa, aku ngerti kok.” Sok pegertiannya gue keluar. Biar doi nganggep gue itu tipycle cowok yang pengertian, hehe. Di tempat itu gue hanya berdua dengan Marissa. Sumpah hati gue gak karuan. Cenat-cenut gimana gitu, bingung pula gue harus ngapain. Saat seperti itu gue harus bertanya sama siapa? supaya gue bisa keluar dari situasi yang bikin gue bimbang. Relax Tama relax. Tiba-tiba gue mendengar suara entah darimana, mungkin malaikat yang ada di samping gue. Sampai gue ngekhayal malaikat itu tepat di samping kanan gue sambil berbisik ke telinga gue dan membawa-bawa buku binder plus pulpennya. Ah pikiran gue mulai ngawur gak tentu arah. “Tama? Tama? Kok bengong?” Tanya Marissa sambil melambai-lambaikan tangan kanannya depan mata gue. Suara manis yang benar-benar menyejukkan hati terdengar oleh telinga gue. Oh, sumpah ini gak boong. “Eh, enggak Sa. Tadi aku kepikiran teman ku Arman.” Jawab gue berharap dia percaya. Astaga! Gue beneran kepikiran Arman. Kunci rumah dia masih ada di gue, soalnya tadi pas di kantin dia menitipkan kunci rumahnya ke gue. Waduh, pasti dia lagi kebingungan nyari-nyari kunci. Mulai dari ngocek kantong celana, baju, tas, sampe sepatu dan kaos kakinya. Mudah-mudahan dia inget kalo kuncinya masih ada di gue dan gak sampai dia buka-buka baju sama celana nya yang mungkin dia kira nyempil di kaos dalam atau boxer pink kesayangannya yang selalu di pake setiap hari dan di cuci hanya sebulan sekali itu. “Oh, ciee yang kepikiran terus sahabat baru. Kamu mau langsung pulang?” Tanya Marissa sambil menggoda gue dengan senyuman mautnya yang mirip Dian Sastro itu. “Ah kamu bisa aja. Gak tahu nih, emang kamu mau langsung pulang.?” Jawab gue lanjut bertanya, gak lupa di bumbui senyuman Nicholas Saputra. Wahah, cocok deh. Dia punya senyuman Dian Sastro, gue punya senyuman Nicholas Saputra. Pasangan serasi yang ada di film Ada Apa Dengan Cinta itu loh. “Aku mau ke kantin dulu sih sebentar. Mau nganterin titipan dari mama ke ibu kantin. Kamu mau ikut? Kalo mau pulang duluan juga gak apa-apa kok.” Tak henti-hentinya dia melontarkan senyumannya ke gue yang membuat gue jadi keGE.ERan abis. “Iya aku ikut.” Jawab gue kegirangan, jangankan Cuma nganter dia ke kantin. Mengantarnya ke Paris, eh jangan kejauhan. Mengantarnya ke Bali naik becak pun gue rela meskipun gue yang jadi pilotnya. Membayangkan gue pakai pakaian pilot mengayuh becak sampai Bali, dan dia duduk manis di kursi penumpang sambil tersenyum-senyum menikmati hembusan angin dari pintu becak membuat rambutnya terurai. So sweet banget dah. Tapi kalo beneran, pasti kaki gue mampu menyaingi besarnya kaki gajah. Gak masalah bagi gue, asalkan bersamanya gue selalu bisa merasa bahagia.

Singkat cerita, gue udah sampai di gerbang depan sekolah. Gue sengaja gak menceritakan kejadian di kantin. Gue males membahas ibu kantinnya. Dan gue harap kalian juga gak ingin tahu tentang ibu itu. Pendengarannya agak sedikit terganggu, jadi kalo ngomong sama dia harus pakai nada tinggi ala-ala penyanyi rock. Dan suaranya itu yang bikin gue gak nahan. Kalo dia ngomong, gelas, piring, kaca juga bisa sampai pecah, cempreng banget. Gak jauh beda suaranya sama Mpok Nori. Sepertinya jaman-jaman dia muda, dia pernah jadi penyanyi rock sejati. Sampai suara rocknya melekat hingga sekarang. “Bu, ini titipan dari mamah.” Dengan anggunya Marissa berbicara sambil menyondorkan apa yang di bawanya pada ibu kantin. Dia tepat berada di depan gue dan Marissa. Sebut saja namanya Bu Idah. Yah, kenapa gue jadi cerita dia? Tapi gak apa-apa lah, sudah terlanjur kering. “Eh,Neng Marissa ya? Iya neng sampein ke mama, makasih gitu ya kata ibu.” Ya ampun, suaranya bikin rambut gue sampai acak-acakan gak jelas. Gue berasa di terpa badai pas dia lagi ngomong. Wuussssshhhh , wah gak kuat deh pokonya.

Hanya sekejap waktu saja gue sudah bisa mengontrol hati gue. Ternyata memang benar, kita gak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika kita hanya berdiam diri dan tak melakukan sesuatu apapun. Balik lagi ke cerita, gue dan Marissa sudah tepat berada di depan gerbang sekolah. “Kamu pulang sendiri atau ada yang jemput?” Tanya gue penasaran. “Aku di jemput Ma, sama Om.” Jawabnya, semakin membuat gue geregetan jadinya geregetan. “Oh, di kira sendiri. Tadinya kalo sendiri aku anterin.” Gue sedikit memberi perhatian padanya. “Yah, aku di jemput Ma, lain kali aja ya. Memang kamu pulang naek apa? Kamu bawa motor?” “Enggak, aku naek mobil Sa, tadinya mau aku anterin kamu naek mobil.” “Loh, emang kamu udah punya SIM? Kok udah berani bawa-bawa mobil.?” Tanyanya heran. “aku cuma naek, yang bawa itu supir.” Jawab gue membuat dia penasaran. “Oh, kamu juga di jemput? Hebat ya di antar jemput pake mobil.” Tanyanya lagi dengan senyuman. “Aah, biasa aja kali Sa, aku jadi malu.” Jawab gue menahan rasa ingin tertawa. Gak lama Om nya Marissa pun datang. “Tama, aku duluan ya, Om aku udah dateng.” Pamitnya pada gue. “Iya Sa hati-hati, mobil aku juga udah nunggu dari tadi.” “emang mobil kamu yang mana?” Tanyanya sangat peasaran. “Tuh yang itu.” Jawab gue sambil mengarahkan telunjuk gue ke arah mobil yang berwarna kuning bergaris hijau tua di bagian bawah body nya bernomor 08 pada body sampingnya. “itu kan angkutan kota Ma?” tanyanya semakin heran. “Iya aku pulang naek itu.” Jawab gue sambil tertawa. Dan dia pun tertawa karena kekonyolan gue. Mungkin dia pikir gue anak orang kaya yang di antar jemput dengan mobil mewah kali ya? “Kamu bisa aja deh.” Ucapnya sambil menyenggolkan siku tangan kanannya ke punggung bagian kiri gue. “Yauda, aku pulang ya? dah Tama hati-hati di jalan ya.” Dia kembali berpamitan dan sambil melambaikan tangannya sebahu. “Daah, kamu juga hati-hati.” Jawab gue sedikit teriak dan melambaikan tangan gue, karena dia udah berlari menjauh menghampiri Om nya. Setelah dia menaiki motor itu dengan posisi kedua kakinya berada di sebelah kiri motor jika dilihat dari belakang. Dia kembali melambaikan tangannya ke arah gue dari kejauhan. Gue pun melambaikan tangan padanya dan sembari berkata di dalam hati “ini bukanlah lambaian terakhir dari gue.”

Setelah pandangannya lepas dari gue, secepat kilat gue berlari menuju angkot yang sedang menunggu penumpang. Gue loncat masuk lewat pintu angkot itu, dengan tangan dan kepala terlebih dahulu. Seperti  Jackie chan yang sedang melompat menembus kaca. Alhasil gue duduk dengan kepala berada di bawah dan kaki tersandar di kaca jendela angkot. “Bang,cepet bang jalan bang.” Paksa gue. Agar supir angkot itu segera menjalankan mesin tempurnya. “Sabar atuh de, angkotnya masih kosong ini teh.” Sahutnya dengan logat khas sunda. “Iya tau, ,tapi saya lagi buru-buru ini bang. Saya bayar 3x lipat deh.” Paksa gue lagi. Dan mebuat kesepakatan dengannya. “Yah, gimana atuh de? Sebentar atuh lima menitan lagi yah?” Jawabnya kalem. “Ini gawat darurat bang, Ayo dong. Please.” Sampe mohon-mohon gue sama dia. “Ya udah atuh, tapi jangan 3x lipat atuh de.” Tawarnya. Disini gue adu tawaran sama abang tukang angkot. “Yaudah 4x lipat?” “5x lipat de?” “6x lipat? bang” “7x lipat de?” “Yaudah ini tawaran terakhir bang, tapi abang harus jalan sekarang juga. 2x lipat deal or no deal?” “Nah gitu dong dari tadi de, Deal! Pegangan de. Kita meluncur.” Dalam hati gue, ini orang bego apa tolol? Gue ngasih tawaran 3x lipat dia malah pengen 2x lipat. Tapi gue gak peduli, yang penting gue sampai ke rumahnya Arman. Kayaknya ini supir emang gila beneran. Gue di bawa kebut-kebutan sama dia. Sampai pontang-panting gue sendirian di kursi penumpang. Di banting kiri, di banting kanan, nyungseb ke depan, sampai ngejengkang gue kebelakang. Naik angkot tapi berasa naik kapal laut yang lagi di terpa badai samudra atlantik. Bener-bener stress ini supir, kayaknya gue salah masuk angkot. Dan sepertinya dia mantan pembalap NASCAR. “Ini dimana bang?” tanya gue heran sambil melihat keluar jendela mobil. “Di pasar gede. Emang ade mau kemana?” Tanya dia santai. “Aduh kelewat bang. Saya mau ke jalan merpati 3.”jawab gue sambil tepuk kening dengan telapak tangan kanan gue. “Ade sih malah joged-joged terus dari tadi, gak enak saya nanyanya juga.” Sahutnya sambil berkaca merapihkan rambut dengan sisir kecil berwarna biru muda. Dalam hati gue. Mata lu joged-joged, gue tadi abis kena gempa. “Yaudah saya turun disini aja bang. Sesuai dengan kesepakatan, saya bayar 2x lipat.” Kata gue sambil turun dan memberikan sejumlah uang pada supir itu. “Eh, tunggu de. Tapi kan ini melebihi tujuan, harusnya 3 kali lipat dong?” Semakin kesel gue di buatnya. Ini orang yang dinamakan PPB, (pinter-pinter bodoh) tuh kayak gini. Gue gak mau berlama-lama dekat dia. Gue kasih tambahan uangnya dan gak lupa mengucapkan makasih. Bagaimana pun dia udah mau nganterin gue, meskipun gue sedikit tersiksa. Pikiran gue terus tertuju pada Arman, gue lari menuju rumah Arman meskipun lumayan jauh dan cuaca saat itu benar-benar panas. Serasa lari marathon dipadang pasir. Gue berhenti sejenak untuk istirahat. Duduk di kursi panjang tepian trotoar tepat di sebuah warung kecil. Gue melihat seseorang sedang menikmati air kemasan botol yang sepertinya nikmat sekali. Gue haus, duit abis gara-gara tukang angkot sengklek itu. Gue harus gimana? Andai saja datang seseorang yang menawari gue segelas air, pasti gue minta sebotol. Haus banget!!! Gue tahan semua rasa itu, gue yakin pasti ada yang lebih sengsara dari gue saat ini di luar sana. Gue lanjut berlari menuju rumah Arman. Dengan segenap jiwa dan segala perjuangan yang gue kerahkan sekuat tenaga, akhirnya gue tiba di depan rumah Arman. Dan ternyata firasat gue benar. Saat gue tiba di rumahnya, Arman sudah tertidur pulas bersandar di depan pintu rumahnya. Dan, dia telah menanggalkan bajunya. Dia hanya menggunakan kaos dalam dan boxer pink kesayangannya, plus sepatu lengkap dengan kaos kakinya yang masih terpasang di kakinya dan mungkin lupa dia lepas. “Man? Arman? Bangun. Ini gue Tama.” Kata gue. Berniat membangunkanya dengan menggoyah-goyahkan badannya. “Huaaa. Elu Ma. Gue kira lu gak akan kesini. Ngebiarin gue kayak orang gila begini.” Katanya sambil terlebih dahulu menguap. “Gue lupa kunci lu masih ada di gue. Yauda sekarang pake baju lu, terus anterin gue pulang. Duit gue abis, jadi gak ada ongkos buat pulang.” “Yauda ayo, lu ah ada-ada aja. Pasti ada yang bikin lu lupa ya?” kataya sembari memakaikan baju dan celananya satu persatu. Gue hanya bisa tersenyum mendengar perkataan Arman. Sorry Man, tadi gue terlalu senang bisa ngobrol bareng Marissa. Jadi gue seakan lupa segalanya. Mudah-mudahan lu bisa ngerti. Hati gue bergumam. “Lu mau pulang sekarang? Gak mau minum atau istirahat dulu?” Tawarnya Arman. “Udah gak usah, takut nyokap nyariin gue. Tapi kalo minum boleh tuh. Gue haus banget.” Jawab gue sambil memberikan kunci rumahnya.

**


Semenjak saat itu gue mulai dekat dengan Marissa. Meskipun masih jarang kita ngobrol, tapi dia udah mulai bisa membalas senyuman gue. Ternyata dia gak seperti yang gue duga. Gue kira dia jutek, susah bergaul, dan lain sebagainya. Dia itu baik, ramah, dan rasa pedulinya cukup besar. Contohnya saat dia berkumpul menikmati jajanan kantin dengan teman-temannya di kelas. Dan kebetulan ada salah satu temannya yang saat itu gak membeli jajanan. Dia memilih untuk membagi jajanan yang di pegangnya itu dengan temannya yang gak membeli jajanan . Dia bilang.” Kita makan berdua aja bareng-bareng, aku gak yakin bisa ngehabisin ini.” Benar-benar cewek idaman. Cocok banget dah sama gue yang ganteng, baik, rajin menabung, dan tidak sombong ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar